RIWAYAT KASTA DI BALI
Om Swastyastu.
Kasta, dalam
Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division
of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or
job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman
775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras
keturunan, golongan.
Bangsa Portugis yang
dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu pertama corak
tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka menamakan
tatanan itu sebagai Casta. Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa terutama di
Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa
tumbuh subur karena didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan
kehidupan agraris.
Para elit ketika itu
adalah the king (raja), the prince (kaum bangsawan), dan the land lord (tuan/
pemilik tanah pertanian); rakyat jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia
disebut sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah,
dan senantiasa menjadi korban pemerasan kaum elit.
Lama kelamaan tatanan
ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:
1.
Revolusi Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan
monarki dan the land lord
2.
Industrialisasi yang mengurangi peran sektor agraris
3.
Pengembangan Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang
diantara umat manusia
Walaupun demikian
casta tidak hilang sama sekali; ia berubah wujud sebagai “Class System” yang
didefinisikan sebagai: a differentiation among men according to such categories
as wealth, position, and power.
Class System ini
dianalisis secara ilmiah oleh berbagai tokoh masyarakat; yang terkemuka adalah
Karl Marx dengan teorinya: The relations of production; inilah embrio pemahaman
sosialis komunis yang ingin meniadakan perbedaan kelas masyarakat, di mana
pemerintah menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan perimbangan
income yang wajar diantara rakyatnya.
Peredaran zaman menuju
ke abad 20 membawa Class Theory yang klasik seperti pemikiran Karl Marx berubah
menuju era baru seperti apa yang disebut sebagai Class Mobility, yaitu
pengelompokan sosial karena kepentingan profesi. Kini kita biasa mendengar
kelompok-kelompok: usahawan, birokrat, intelektual, militer, dan rohaniawan;
mereka kemudian mengikat diri lebih khusus kedalam organisasi-organisasi
seperti: IKADIN, IDI, ICMI, ICHI, MUI, PHDI, dll.
India yang disebut
dalam berbagai sumber sebagai asal Kasta Stelsel, sebenarnya mempunyai sekitar
3000 kelompok sosial masyarakat, namun pada umumnya dapat dibedakan menjadi
empat. Pengelompokan ini di India tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang
beragama Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat yang beragama lain misalnya
penganut Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh, Pathan, dan Momin; penganut
Kristen berkelompok pada: Chaldean Syrians, Yacobite Syrians, Latin Catholics,
dan Marthomite Syrians; penganut Budha berkelompok pada: Mahayana, Hinayana,
dan Theravadi.
Istilah pertama yang
digunakan di India bukan kasta tetapi “varnas” Bahasa Sanskerta yang artinya
warna (colour); ditemukan dalam Rig Veda sekitar 3000 tahun sebelum Masehi
yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah), Vaishya
(pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan).
Tiga kelompok pertama
disebut “dwij” karena kelahirannya diupacarai dengan prosesi pensucian.
Dalam Bhagavadgita
percakapan ke-IV sloka ke-13 ditulis:
CHATUR VARNYAM MAYA
SRISHTAM,
GUNA KARMA VIBHAGASAH,
TASYA KARTARAM API
MAM,
VIDDHY AKARTARAM
AVYAYAM
artinya:
catur warna adalah
ciptaan-Ku,
menurut pembagian
kualitas dan kerja,
tetapi ketahuilah
walaupun penciptanya,
Aku tidak berbuat dan
mengubah diri-Ku.
Warna adalah profesi
atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya;
tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma
dengan saling melengkapi.
Mantram-mantram dari
Yajurveda sloka ke-18, 48 antara lain berbunyi:
RUCAM NO DHEHI
BRAHMANESU,
RUCAM RAJASU NAS
KRDHI,
RUCAM VISYESU SUDRESU,
MAYI DHEHI RUCA RUCAM
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa
bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para
Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak
habis-habisnya kepada kami.
Yajurveda Sloka ke 30,
5 berbunyi:
BRAHMANE BRAHMANAM,
KSATRAYA, RAJANYAM,
MARUDBHYO VAISYAM,
TAPASE SUDRAM
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa
telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan,
para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.
Profesi yang empat
jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci,
diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana
Yajurveda sloka 31, 11 menyatakan:
BRAHMANO ASYA MUKHAM
ASID,
BAHU RAJANYAH KRTAH,
URU TADASYA YAD
VAISYAH,
PADBHYAM SUDRO AJAYATA
artinya:
Brahmana adalah
mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa,
Ksatriya
lengan-lengan-Nya,
Vaisya paha-Nya,
dan Sudra
kaki-kaki-Nya.
Selanjutnya doa yang
mengandung harapan agar masing-masing profesi/ warna melaksanakan swadharma
yang baik terdapat pada Yajurveda sloka 33,81:
PRAVAKAVARNAH SUCAYO
VIPASCITAH
artinya: para Brahmana
seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar;
Yajurveda sloka 20,25:
YATRA BRAHMA CA
KSATRAM CA,
SAMYANCAU CARATAH
SAHA,
TAM LOKAM PUNYAM
PRAJNESAM,
YATRA DEVAH SAHAGNINA
artinya:
di negara itu
seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para Brahmana
dan para Kesatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar
melaksanakan persembahan (pengorbanan).
Kesimpulannya adalah
Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk
kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia.
Warna seseorang tidak
selamanya tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang petani (berwarna sudra)
karena ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya kemudian hari menjadi bupati
maka anaknya sudah menjadi warna Ksatriya; demikian sebaliknya seorang
keturunan Brahmana yang tidak lagi berprofesi sebagai Wiku tidak dapat disebut
sebagai warna Brahmana.
Perubahan status pada
seseorang bahkan dapat terjadi setiap saat menurut bidang tugasnya, misalnya
seorang pesuruh di suatu Kantor yang merangkap menjadi Pemangku di Pura/
Sanggah Pamerajan; ketika bertugas sebagai pesuruh dia berwarna Sudra, tetapi
jika bertugas nganteb piodalan di Pura dia berwarna Brahmana.
Warna yang diabadikan
bahkan diwariskan turun temurun terjadi di India, sebagai usaha kelompok elit
mempertahankan status quo, yang sebenarnya sudah sangat menyimpang dari ajaran
suci Weda.
Gejala mengabadikan
warna inilah yang dilihat oleh orang-orang Portugis sehingga timbullah istilah
“casta” seperti yang diuraikan di atas.
Penerapan kasta stelsel
di India menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat sehingga mereka saling
bertikai. Dalam kondisi seperti ini jiwa nasionalisme pudar sehingga India
mudah dipecah belah dan akhirnya dijajah Inggris.
Perjuangan Mahatma
Gandhi membangkitkan nasionalisme India dibayar sangat mahal yaitu dengan
jiwanya sendiri ketika dia ditembak oleh seorang fanatikus kasta.
Agama Hindu kemudian
menyebar ke Indonesia lengkap dengan tatanan masyarakat menurut “warna”
masing-masing. Mula-mula di Jawa tatanan masyarakat masih murni menurut Weda
yaitu tatanan menurut profesi atau “Warna”.
Ketika Majapahit
hendak meluaskan kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal
dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada, maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali
Dwipa pada abad ke-13.
Para “penjajah
Majapahit” membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum elit
itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Kesatria, dan Wesya. Semua penduduk
Bali-asli yang dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra.
Tujuan politik Gajahmada
adalah agar kaum Bali-asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan
Samprangan dapat berlanjut terus.
Sejak masa itulah
“Warna” di Bali berubah menjadi “Wangsa” atau “Kasta” karena hak-hak
kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya.
Setelah
kerajaan-kerajaan di Bali runtuh, kemudian Indonesia menjadi negara Republik,
hak-hak kebangsawanan mereka dengan sendirinya hilang. Namun demikian
titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk mengenang kejayaan
masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur.
Sekarang tinggal
masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang.
Tinggi rendahnya
status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya
kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu.
Mereka yang bijaksana
akan senantiasa menjauhkan perilaku feodalisme, karena feodalisme itu membodohi
diri sendiri.
Om Santih Santih
Santih Om.
sumber:
bali.stitidharma.org/riwayat-kasta-di-bali